Pessimism, Hope, and Destiny
Ketakutan mencoba hal baru benar-benar nyata kala itu.
"Susah", "Lama kelarnya", dan stigma-stigma negatif lainnya selalu terngiang.
Namun ada satu momen di saat aku pasrah keputusan pembimbing. Sebetulnya bukan 100% pasrah, melainkan aku diberi pilihan. Karena tidak tahu mana yang lebih baik untukku, akhirnya aku balik bertanya pada beliau, "Kalau menurut dokter baiknya bagaimana ya?" Dan beliaupun menjawab, "Kalau saya sih mending kualitatif," jawabnya mantap. Aku ingat betul kata-kata beliau meyakinkan, "Ah susah itu kan cuma persepsi saja", lalu beliau melanjutkan, "Lebih mudah kok, lebih cepat, nanti kan dibimbing sama dosen juga. Yang penting coba baca dulu, kenali dulu. Kita ga akan suka kalau ga kenal."
Beberapa orang bingung dengan keputusanku. Jangankan mereka, aku pun bingung.
Kata orang, aku ini kadang terlalu idealis— di saat yang tidak tepat. Kadang memang seakan meracuni diri sendiri, menuntut kesempurnaan, tapi nyatanya diri ini memang tidak bisa sempurna. Menyadari hal ini kadang membuat sesak napas sendiri. Saat itu idealismeku adalah "ga mau yang asal cepet". Maka kuambil suatu keputusan— yang padahal awalnya amat sangat sangat kuhindari. Entah angin apa yang tiba-tiba mengubah keputusanku.
Seiring berjalannya waktu, benar saja! Apa yang kutakutkan terjadi.
"Metode apa sih ini? Gak jelas banget."
"Kenapa sih dulu harus ngambil ini? Nyusahin diri sendiri aja!"
Tanyaku berulang-ulang dalam hati. Mengutuki diri sendiri.
Terlalu pesimis akan ujungnya yang masih abu-abu.
Setiap bertanya "Temen-temen ada yang pakai metode X gak?", "Temen-temen ada yang pakai analisis Y gak?", read by 1426382936829, responded by 1, 2, 3... dan jawabannya "No" semua.
God, why me?
Padahal seharusnya aku tahu, yang memilih jalan ini adalah aku. Tidak sepantasnya diri ini menyesal, tidak pantas!
Keterpurukan yang tidak sebentar pun kualami. Kadang justru tidak bermanifestasi menjadi afek depresi, melainkan berbentuk pelarian-pelarian yang melenakan dan menjadi kedok— KKN, pekerjaan, organisasi, dan lain-lain.
Lalu satu-persatu kawan telah sampai pada pencapaiannya, orangtua mulai menanyakan kabar, inner motivation muncul perlahan... barulah, aku membuat sebuah pijakan baru. Langkah awal untuk kemudian berlari mengejar ketertinggalan.
Lari! Tidak sendiri! Doa-doa yang dilantunkan ke langit, dukungan yang tak henti-henti, sampai bantuan-bantuan teknis yang tak ternilai harganya; seakan menjadi akseleratorku. Keluarga, sahabat, dosen pembimbing... Ya Tuhan, mana bisa kusebutkan satu-persatu kebaikannya.
Dengan segala pesimisme yang kumiliki, harapan itu masih ada! Menggelora di dada! The hope is still on fire!
"Dok, mohon maaf mengganggu waktunya, namun saya bingung sekali..."
Tak jarang keresahan dan kebimbangan kucurahkan pada pembimbing. Benar, mereka tidak membiarkanku berjalan sendiri. Hati ini selalu lapang setiap usai bertemu mereka. Waktu luang mereka yang begitu mahal, bimbingan yang mendewasakan, keseriusan dalam membimbing, dan kesabaran atas ketidakpahamanku, membuat pesimismeku kian memudar, menjadi sebuah harapan yang selalu baru.
Hingga akhirnya, dari satu dua kata, menjadi 135 halaman yang terjilid rapi. Secercah senyum tersimpul di bibir, membayangkan betapa pesimisme berlebihan dapat meracuniku dahulu.
Untuk siapapun yang membaca ini, jangan takut mencoba hal-hal baru selama itu baik. Kita memang tahu bahwa setiap pilihan pasti ada konsekuensinya, namun kenyataan jalan yang akan ditempuh tidak selalu terlihat jelas. Nah, kalau begitu, mau bagaimana lagi. Yang penting, langkah kakimu tidak boleh terhenti. Boleh menepi sesekali, menambah lagi perbekalan, dan memunculkan harapan-harapan baru.
Harapan mengajarkan kita untuk percaya, bahwa takdir Tuhan tidak pernah salah. Kutengok kanan-kiri, kulihat teman-temanku. Setiap orang memiliki tantangan dan kisah sedihnya sendiri-sendiri, juga pencapaian dan keberhasilannya sendiri-sendiri. And it's all been written! So, no worries, please? It's the destiny! Pun soal zona waktu. Zona waktu setiap orang memang berbeda, namun percaya, bahwa semuanya akan tiba, pasti akan tiba saatnya.
Everything seems so impossible until it's done, right?
Jangan takut.
Surakarta, 25 Februari 2018
"Susah", "Lama kelarnya", dan stigma-stigma negatif lainnya selalu terngiang.
Namun ada satu momen di saat aku pasrah keputusan pembimbing. Sebetulnya bukan 100% pasrah, melainkan aku diberi pilihan. Karena tidak tahu mana yang lebih baik untukku, akhirnya aku balik bertanya pada beliau, "Kalau menurut dokter baiknya bagaimana ya?" Dan beliaupun menjawab, "Kalau saya sih mending kualitatif," jawabnya mantap. Aku ingat betul kata-kata beliau meyakinkan, "Ah susah itu kan cuma persepsi saja", lalu beliau melanjutkan, "Lebih mudah kok, lebih cepat, nanti kan dibimbing sama dosen juga. Yang penting coba baca dulu, kenali dulu. Kita ga akan suka kalau ga kenal."
Beberapa orang bingung dengan keputusanku. Jangankan mereka, aku pun bingung.
Kata orang, aku ini kadang terlalu idealis— di saat yang tidak tepat. Kadang memang seakan meracuni diri sendiri, menuntut kesempurnaan, tapi nyatanya diri ini memang tidak bisa sempurna. Menyadari hal ini kadang membuat sesak napas sendiri. Saat itu idealismeku adalah "ga mau yang asal cepet". Maka kuambil suatu keputusan— yang padahal awalnya amat sangat sangat kuhindari. Entah angin apa yang tiba-tiba mengubah keputusanku.
Seiring berjalannya waktu, benar saja! Apa yang kutakutkan terjadi.
"Metode apa sih ini? Gak jelas banget."
"Kenapa sih dulu harus ngambil ini? Nyusahin diri sendiri aja!"
Tanyaku berulang-ulang dalam hati. Mengutuki diri sendiri.
Terlalu pesimis akan ujungnya yang masih abu-abu.
Setiap bertanya "Temen-temen ada yang pakai metode X gak?", "Temen-temen ada yang pakai analisis Y gak?", read by 1426382936829, responded by 1, 2, 3... dan jawabannya "No" semua.
God, why me?
Padahal seharusnya aku tahu, yang memilih jalan ini adalah aku. Tidak sepantasnya diri ini menyesal, tidak pantas!
Keterpurukan yang tidak sebentar pun kualami. Kadang justru tidak bermanifestasi menjadi afek depresi, melainkan berbentuk pelarian-pelarian yang melenakan dan menjadi kedok— KKN, pekerjaan, organisasi, dan lain-lain.
Lalu satu-persatu kawan telah sampai pada pencapaiannya, orangtua mulai menanyakan kabar, inner motivation muncul perlahan... barulah, aku membuat sebuah pijakan baru. Langkah awal untuk kemudian berlari mengejar ketertinggalan.
Lari! Tidak sendiri! Doa-doa yang dilantunkan ke langit, dukungan yang tak henti-henti, sampai bantuan-bantuan teknis yang tak ternilai harganya; seakan menjadi akseleratorku. Keluarga, sahabat, dosen pembimbing... Ya Tuhan, mana bisa kusebutkan satu-persatu kebaikannya.
Dengan segala pesimisme yang kumiliki, harapan itu masih ada! Menggelora di dada! The hope is still on fire!
"Dok, mohon maaf mengganggu waktunya, namun saya bingung sekali..."
Tak jarang keresahan dan kebimbangan kucurahkan pada pembimbing. Benar, mereka tidak membiarkanku berjalan sendiri. Hati ini selalu lapang setiap usai bertemu mereka. Waktu luang mereka yang begitu mahal, bimbingan yang mendewasakan, keseriusan dalam membimbing, dan kesabaran atas ketidakpahamanku, membuat pesimismeku kian memudar, menjadi sebuah harapan yang selalu baru.
Hingga akhirnya, dari satu dua kata, menjadi 135 halaman yang terjilid rapi. Secercah senyum tersimpul di bibir, membayangkan betapa pesimisme berlebihan dapat meracuniku dahulu.
Untuk siapapun yang membaca ini, jangan takut mencoba hal-hal baru selama itu baik. Kita memang tahu bahwa setiap pilihan pasti ada konsekuensinya, namun kenyataan jalan yang akan ditempuh tidak selalu terlihat jelas. Nah, kalau begitu, mau bagaimana lagi. Yang penting, langkah kakimu tidak boleh terhenti. Boleh menepi sesekali, menambah lagi perbekalan, dan memunculkan harapan-harapan baru.
Harapan mengajarkan kita untuk percaya, bahwa takdir Tuhan tidak pernah salah. Kutengok kanan-kiri, kulihat teman-temanku. Setiap orang memiliki tantangan dan kisah sedihnya sendiri-sendiri, juga pencapaian dan keberhasilannya sendiri-sendiri. And it's all been written! So, no worries, please? It's the destiny! Pun soal zona waktu. Zona waktu setiap orang memang berbeda, namun percaya, bahwa semuanya akan tiba, pasti akan tiba saatnya.
Everything seems so impossible until it's done, right?
Jangan takut.
Surakarta, 25 Februari 2018