[Kaleidoskop Preklinik #1] Semua Terasa Begitu Asing

Air mata tak mampu kubendung kala itu. Sore hari, menanti tibanya waktu berbuka puasa, di lantai dua rumah kami, aku dan Bunda tengah menyadari bahwa skenario Allah memang tak bisa ditebak. Seumur hidupku, tak pernah terbayangkan akan merantau meski hanya sedekat Solo, dua tiga jam dari Jogja. Mengapa harus merantau, jika di tanah kelahiran saja sudah ada universitas yang 'cukup'? Sungguh, aku bukanlah orang yang sangat mendambakan fakultas kedokteran dalam hidupku. Kala itu, yang terpenting bagiku adalah UGM, apapun jurusannya, apapun fakultasnya. Dekat. Ya, itu alasan utamanya. Dekat dengan keluarga, tak akan ada home sick, dekat dengan sahabat-sahabat lama, dekat dengan mantan SMA, sehingga aku masih bisa aktif di kegiatan-kegiatan alumni. Diterima di UNS adalah hal yang memilukan bagiku, di fakultas kedokteran sekalipun, fakultas yang begitu didambakan banyak orang. Hampir-hampir jadi orang kufur nikmat kala itu, sampai akhirnya ayah menelponku.
"Emang dulu berdoanya sama Allah gimana?" tanya Ayah.
"Berdoanya minta dikasih UGM apa dikasih yang terbaik?" tanyanya lagi.
"Ya yang terbaiklah." aku sesenggukan menanggapi.
"Ya udah, kalau berdoanya dikasih yang terbaik, maka insyaa Allah UNS itu yang terbaik, kan Allah yang memilihkan." jelas Ayah.
Deg. Tangisku terhenti. Baiklah, kucoba pelan-pelan untuk menerima takdir ini. Sambil kembali menata hati, kulihat Bunda sibuk sekali menelpon kakek nenek, menyampaikan kabar gembira bahwa putrinya akan segera menyandang gelar 'calon dokter'.

***

Tiba saatnya daftar ulang SBMPTN. Dengan hanya diantar Kakak, kami melancong berdua ke Solo. Naik kereta dari Jogja ke Solo, dilanjutkan naik Batik Solo Trans (BST) ke kampus UNS. Semua terasa begitu asing, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di UNS. Kami bertanya pada satpam, dimana letak Fakultas Kedokteran. Setelah memberikan arah jalan yang cukup jelas. satpam menawarkan diri untuk mengantarku dan Kakak menuju kampus FK. Namun kami menolak, sepertinya bisa kok ditempuh dengan jalan kaki. Sambil berjalan, aku sibuk menengok kanan kiri. Kamus yang cukup rindang, banyak pepohonan, dan ramah pada pejalan kaki. Sepertinya sih akan betah hidup di sini, pikirku.



***

Kehidupanku di Solo akhirnya resmi dimulai saat mulai menyinggahi kos. Semua memang terasa begitu asing, namun ayolah, life must go on. Aku mulai mencoba-coba jalan baru sendirian (walau sempat nyasar sampai jauh), memulai menjalin relasi, kopi darat dengan teman-teman baru, mencoba kuliner Solo, menyadari betapa hematnya tinggal di Solo, dan segala kehidupan baru lainnya. Well, perlahan-lahan, sambil terus menata hati agar selalu pada kesyukuran, aku yakin, ini adalah jalan terbaik yang Allah berikan. Dan benar, semakin hari, semakin kumenemukan serpihan-serpihan hikmah atas semua ini. Suasana kota yang serba ada tapi antimacet, kampus yang hijau, biaya hidup yang tergolong murah, budaya Jawa yang cukup kental, suasana beribadah yang nyaman, kehidupan yang jauh dari hedonisme, dan yang paling utama, teman-teman ramah yang selalu mengingatkan dalam kebaikan. Lantas, apalagi kata yang lebih pantas terucap selain alhamdulillahirrabil'alamin? All praises to Allah.

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

Back
to top