Rumah Abadi

Ditulis dalam rangka mewakili kontingen Calvaria mengikuti lomba bidang sastra PORSENI FK UNS 2017. Panitia memberikan pilihan beberapa tema, dan aku memilih tema 'Rumah Kita'. Alhamdulillah, sempat masuk tiga besar terbaik, tapi pas final sayang sekali ga bisa nonton, dan ga tau akhirnya juara berapa hahaha. So this is it, selamat membaca!

Rumah Abadi
Oleh: Beladina Zahrina Dewi

Sinopsis: Rijal dan Nisa adalah saudara tiri dari ibu yang berbeda. Sepeninggal kedua ibunya, mereka tinggal satu atap bersama ayah mereka. Karena tidak pernah tinggal serumah sebelumnya, interaksi antar keduanya pun amat canggung. Rijal mengira bahwa Nisa tak mau menerimanya sebagai kakak tiri, sedang Nisa memang belum bisa bersosialisasi dengan Rijal. Ayahnya berusaha memecahkan kekakuan antara mereka, dan usahanya berhasil membuat mereka berdua berlibur bersama. Setelah Rijal dan Nisa pulang dari liburan, ayahnya tengah sekarat di rumah sakit. Sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir, ayahnya berpesan pada mereka. Suatu pesan yang amat terkenang di lubuk hati mereka, terutama Nisa. Suatu pesan yang membuatnya mampu memahami arti hidup.



Rumah Abadi
Oleh: Beladina Zahrina Dewi

Barangkali bagi Papa, hakikat dari hidup bahagia adalah kemampuan untuk memahami arti dari hidup itu sendiri.
“Tak semua orang paham, Sayang, akan arti hidup ini,” katanya, hampir selalu.
Aku hanya manggut-manggut tiap kali Papa mengatakan kalimat itu. Atau sesekali, aku iseng menjawab “Iya Pa, Nisa ngerti,” dengan nada kesal jika mulai bosan mendengarkan kalimat itu. Padahal tak jarang hatiku menolak. Apa sih Papa. Entah mengapa, semenjak Mama meninggal dunia satu tahun yang lalu, aku jadi sering sensitif dengan Papa, walaupun tak pernah sekalipun dalam hidupku aku marah secara terang-terangan.
“Mas Rijal kok belum pulang ya, Nis?” tanya Papa, mendistraksi aku yang tengah membaca novel di sofa.
Aku melirik jam dinding. Pukul sepuluh malam.
“Nisa gak tahu, Pa,” jawabku singkat.
Sepersekian detik setelahnya, terdengar derum motor memasuki garasi. Sesosok lelaki tinggi kurus membuka pintu depan ruang tamu, tersenyum melihatku dan Papa. Dialah Mas Rijal, kakak tiriku, dari ibu yang berbeda.
Keluarga kami begitu rumit. Dua tahun setelah Papa menikahi Ibu, kala itu usia Mas Rijal masih satu tahun, Papa memutuskan untuk menikahi Mama. Hingga satu tahun kemudian, lahirlah aku. Sampai sekarang aku tak pernah tahu apa pertimbangan Papa menikah lagi. Namun yang kutahu, baik Ibu maupun Mama tak ada yang keberatan dengan keputusan Papa. Kini, kedua isteri Papa telah meninggal dunia. Ibu meninggal karena kanker kulit saat usiaku 18 tahun, sedang Mama meninggal karena penyakit jantung setahun kemudian.
Dahulu, Papa memang memiliki dua rumah, satu untuk tinggal bersama aku dan Mama, satu lagi untuk tinggal bersama Mas Rijal dan Ibu. Setiap hari, secara bergantian Papa bermalam di kedua rumahnya. Semenjak Ibu meninggal dua tahun yang lalu, Papa memutuskan untuk menjual satu rumahnya dan meminta Mas Rijal tinggal di rumahku. Karena tak pernah tinggal bersama sejak kecil, hingga kini kami masih begitu sering merasa canggung satu sama lain.
“Eh ini dia jagoan Papa, akhirnya pulang juga,” sambut Papa.
“Habis diundang ke pesta ulang tahunnya Amanda, Pa,” Mas Rijal mencium tangan Papa.
“Asyiknya... Kapan Amanda diajak main ke rumah?” tanya Papa menggoda.
Mas Rijal hanya membalas dengan senyuman. Akhirnya mereka berdua tertawa.
“Akhir pekan besok Rijal sama teman-teman mau liburan ke Bandung, Pa. Boleh ya?” pinta Mas Rijal.
“Hmmm. Liburan sama Amanda, ya?” goda Papa lagi.
“Eh, berempat kok Pa, sama teman-teman Rijal yang lain juga,” jawab Mas Rijal.
Papa tiba-tiba melirikku, lalu menatap Mas Rijal lagi.
“Ajak Nisa ya?” pintanya.
“Kok jadi aku sih, Pa?” potongku, menunjukkan wajah protes.
Mas Rijal menatapku canggung, “Kalau Nisa mau sih... ehmm, masih ada satu tempat duduk, ehmm kalau Nisa mau saja sih...”
“Nisa pasti mau,” kata Papa sambil melirikku.
Baiklah. Aku mengangguk perlahan, menunjukkan wajah pasrah. Papa tersenyum penuh kemenangan.
***
“Ini pasti yang namanya Nisa,” sambut salah seorang teman Mas Rijal, seorang perempuan seusia Mas Rijal dengan senyum amat manis.
“Eh... i... iya Mbak,” jawabku terbata-bata. Darimana dia tahu namaku?
“Halo, Dek. Kenalin, aku Amanda. Panggil aja Manda. Oh iya, Rijal sering sekali cerita tentang Nisa lho. Sepertinya kalian ini akur sekali ya kalau di rumah? Sampai-sampai Rijal liburan ke Bandung saja Nisa diajak,” katanya menjelaskan.
Aku? Mas Rijal sering bercerita tentang aku?
“Oh Mbak Manda ya, yang kemarin lusa habis ulang tahun kan?” tanyaku basa-basi.
“Ah pasti Rijal cerita ke kamu ya? Rupanya kalian sering saling curhat,” katanya menyimpulkan.
Dalam hatiku sebenarnya miris sekali. Aku hampir tidak pernah berbincang dengan kakak tiriku itu lebih dari sepuluh kalimat dalam sehari. Aku tidak pernah membencinya, atau memiliki masalah dengannya. Hanya saja, cukup sulit memang, berdamai dengan status saudara tiri, suatu hal yang sering dianggap negatif oleh masyarakat. Satu tahun yang lalu, ketika Mama meninggal dunia, Mas Rijal tidak hadir ke pemakaman. Skeptisku saat itu, bahwa ia memang tak mau menghadiri pemakaman ibu tirinya. Walau demikian, aku tak begitu menganggap hal itu sebuah masalah besar.
“Yuk masuk ke mobil, Nis!” ajak Mbak Manda memecahkan lamunanku.
Perjalanan Solo–Bandung terasa begitu menyenangkan. Cuacanya yang sejuk, semakin sempurna ditambah teman-teman Mas Rijal yang begitu friendly mengajakku bercanda selama perjalanan.
***
“Dek Nisa...” panggil seseorang dari belakang, ketika aku tengah sibuk mengambil foto pemandangan di sebuah objek wisata di Bandung.
“Mas Rijal? Ada apa Mas?” tanyaku canggung.
“Ehm... jadi begini, aku mau ngomong sesuatu ke kamu. Ehm, jadi... aku minta maaf, karena ehm... karena setahun yang lalu...” kalimatnya terpotong oleh helaan napasnya sendiri.
“Setahun yang lalu, saat Mama meninggal dunia...” kalimatnya terpotong lagi.
“Maaf, aku tidak hadir di pemakaman Mama,” akhirnya ia menyelesaikan kalimatnya.
“Oh, itu...” kalimatku terpotong.
“Aku tidak bermaksud untuk menjadi egois, Nis. Saat itu, aku teringat Ibu, teringat semua duka ketika kehilangan Ibu. Aku takut kehadiranku di pemakaman Mama akan menambah duka di hatiku. Namun tetap saja, alasanku yang demikian tetaplah egois. Mungkin kejadian setahun lalu itu yang membuatmu masih sulit menerimaku sebagai kakak tirimu. Oleh karena itu, aku minta maaf, Nis,” jelasnya panjang lebar, matanya berkaca-kaca.
Padahal aku tak pernah mempermasalahkan hal itu, Mas. Justeru aku yang begitu egois, sulit sekali untuk mau menyapa, mengajak bicara, atau sekadar menyinggungkan senyuman.
“Oh itu... Tidak Mas, tidak apa-apa. It’s not a big deal. Sudah berlalu. Mungkin setelah liburan ini, nanti kita bisa sama-sama ziarah ke makam Ibu dan Mama. Anterin aku naik motor merahmu ya? Biar aku dikira pacarmu, hehehe,” kataku mencairkan suasana.
Raut wajah Mas Rijal berubah drastis. Wajah yang sangat mirip dengan Papa itu kini memerah, tersimpul senyum khas Papa di bibirnya, dan kubalas dengan senyuman terbaikku.
“Siap, Tuan Puteri,” balasnya.
“Oh iya, gimana Mbak Manda? Sudah sama-sama siap kan?” tanyaku menggoda.
Gimana apanya sih? Kamu anak kecil sok tahu deh,” balasnya protes, namun mukanya memerah, lucu sekali.
Entah hanya berapa menit percakapan itu terjalin, namun seakan bisa mencairkan sebongkah es di antara kita yang telah bertahun-tahun ada. Kami melanjutkan perbincangan menyenangkan itu, sambil saling tertawa, hingga tawa kami terpotong oleh dering telepon genggam Mas Rijal.
“Iya, Om. Ini masih di Bandung. Sore ini pulang ke Solo, kok. Papa kenapa?” bincangnya dengan suara di seberang telepon.
“Baik, Om. Rijal dan Nisa segera pulang,” kata Mas Rijal mantap, menutup telepon.
“Nis, pulang sekarang!” ajaknya. Aku mengernyitkan dahi, tak mengerti.
“Papa masuk rumah sakit!” terangnya. Raut wajahku berubah kelabu seketika.
***
Di perjalanan pulang, hampir semua orang diam. Tak ada lagi suasana menyenangkan seperti saat perjalanan pergi.
“Mas, cepetan dikit dong nyetirnya,” aku menggigiti jariku, gelisah.
Mbak Manda mencoba menangkan aku, menggenggam tanganku erat.
Mas Rijal menambah gasnya, raut wajahnya pun gelisah. Mbak Manda menyentuh lengannya, berbisik lembut, “Sabar, Jal.”
Papa memang memiliki riwayat penyakit jantung, sama seperti Mama, yang dapat sewaktu-waktu kambuh. Terbayang olehku wajah Mama, duka menyeruak dalam hatiku. Akankah berakhir seperti Mama? Kini dalam benakku hanya ada Papa. Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa.
***
Kami tiba di Solo dan langsung menuju rumah sakit. Setelah berlari-lari kecil menyusuri lorong rumah sakit, aku tiba di kamar perawatan Papa. Kudapati tubuh tua yang kian melemah itu terbaring di atas tempat tidur.
“Papa...”
Seutas senyum teruntai di wajah Papa.
“Sudah pulang, Jal, Nis?” tanyanya lirih.
Kami mengangguk pelan. Aku mendekat, menyentuh tangannya. Mas Rijal mengikuti di belakangku.
“Hahaha. Memang ya, begitulah arti dari rumah,” Papa terkekeh pelan, lalu terbatuk-batuk kecil.
“Sejauh apapun kita pergi, pada akhirnya akan kembali juga ke rumah,” lanjutnya.
Aku dan Mas Rijal mengangguk sok paham.
“Papa ingin sedikit bercerita. Kamu mau mendengarkan?” ia menatapku penuh harap.
“Tentu saja, Pa,” jawabku singkat.
Papa menghela napas panjang, mengambil jeda.
“Dua puluh satu tahun yang lalu, ketika Rijal berusia satu tahun, Ibu didiagnosis terserang kanker rahim. Singkat cerita, rahim Ibu harus segera diangkat, agar kankernya tidak menjalar kemana-mana. Dengan demikian, Ibu tak dapat lagi mengandung...”
“Kehadiran Rijal memang sudah sangat membahagiakan kami, namun saat itu kami begitu mengidamkan seorang anak perempuan...” terusnya.
Aku menghela napas pelan, sudah mulai mengerti arah pembicaraan ini.
“Akhirnya Papa menikah lagi, atas kesepakatan Ibu dan Mama. Kamu tahu, kami hidup bahagia, kok, meskipun sering dicibir tetangga. Apalagi setelah kamu terlahir ke dunia. Maaf Papa tidak pernah menjelaskan hal ini padamu,” terang Papa.
Aku menyentuh ujung jari Papa, tersenyum mengerti.
“Hahaha. Papa sudah tahu, bahwa sebetulnya kamu sudah paham,”
“Karena sesungguhnya bukan itu inti dari pembicaraan ini,” mata Papa menerawang ke atas.
“Tak semua orang paham, Sayang, akan arti hidup ini,” kalimat favorit Papa kembali terucap.
“Banyak orang di luar sana sibuk sekali bekerja di luar kota, meninggalkan rumah-rumah mereka. Tapi seperti yang Papa katakan tadi, yang namanya rumah adalah sebaik-baik tempat kembali. Begitupun kamu. Kamu dan Rijal berhari-hari berlibur jauh-jauh ke Bandung. Pada akhirnya, kalian pulang juga ke rumah,”
“Begitu pula Papa. Dahulu Papa sibuk sekali bekerja, hampir selalu pergi keluar kota, bahkan luar negeri. Papa bertemu dengan jutaan orang di luar sana, dari berbagai suku dan ras, yang tampan, yang cantik,”
“Namun pada akhirnya, hanya Ibu dan Mama tempat Papa berpulang. Karena mereka adalah rumah Papa. Kemanapun dan sejauh apapun kita pergi, pada akhirnya akan kembali ke rumah jua, karena hanya rumah sehangat-hangatnya tempat, hanya rumah sedamai-damainya tempat, seaman-amannya tempat,”
“Meski kini kedua isteri Papa telah meninggal dunia, namun Papa masih punya kalian, rumah Papa, tempat Papa kembali ketika lelah dan jenuh dengan kehidupan di luar sana,” Papa tersenyum. Aku dan Mas Rijal membalas senyumnya.
“Tak semua orang paham, Sayang, akan arti hidup ini,” Papa meneruskan.
“Bahwa sesungguhnya, hidup ini adalah untuk berpulang...” ia mengambil jeda.
“Berpulang ke rumah yang sesungguhnya, yaitu di atas sana,” jarinya teracung ke atas.
“Karena sesungguhnya di sanalah rumah abadi kita, Sayang. Kelak, entah esok hari atau berpuluh tahun lagi, kita semua akan berpulang ke sana,” ia menghela napas lagi.
Papa meraih tanganku dan Mas Rijal, kami mendekat.
“Berjanjilah untuk selalu menjadi anak-anak yang baik di dunia ini. Ketahuilah bahwa perjalanan menuju rumah abadi kita akan sulit dan membutuhkan banyak bekal. Carilah bekal itu di dunia, yaitu dengan menjadi sebaik-baiknya manusia,” akhirnya Papa menutup kalimatnya, tersenyum.
Aku dan Mas Rijal mengangguk paham.
***
Esok harinya Papa mengembuskan napas terakhir. Suasanya pemakamannya memang begitu mengiris hati. Mas Rijal tak henti menguatkan aku, padahal aku tahu hatinya pun sedang kelabu. Aku kehilangan seorang Papa, sesosok bijak yang selalu menasihatiku, yang selalu membanggakan aku.
Pa, ketahuilah bahwa aku pun bangga padamu. Terima kasih telah mengajarkanku akan kunci kebahagiaan hidup, yaitu memahami arti hidup. Kini kumengerti, bahwa hidup adalah untuk berpulang, berpulang ke rumah abadi kita, yaitu di atas sana.
***

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

Back
to top