Hugo

Beda sama film 'Hugo' ya. Kebetulan banget judulnya sama. Toh cerpennya dibuat duluan sebelum filmnya release haha. Jadi ini cerpen dibuat untuk tugas Bahasa Indonesia kelas X semester 2. So, happy reading guys! :)
Hugo
Beladina Zahrina Dewi

“Bang, tunggu Bang!”
Fiuhh. Nafasku tersengal, lelah berlari mengejar angkot, namun akhirnya ketinggalan juga. Aku memutuskan untuk berangakat ke sekolah naik ojek saja.
Matahari sudah mulai bersinar terik kala aku tiba di sekolah. Lapangan tengah sudah ramai. Aku bergegas menuju ruanganku. Kudapati mejaku berantakan. Tumpukan kertas tugas berserakan membuatku jengkel, jengkel sekali.
“Ini pasti kerjaan anak-anak yang telat ngumpulin tugas,” aku berdecak, mengambil salah satu kertas dari tumpukan itu.
“Hugo lagi, Hugo lagi. Dasar nih anak, udah ngumpulinnya telat, tulisannya kayak sandi rumput pula,” aku mengomel sendirian.
Aku baru saja menduduki kursi ketika bel tanda dimulai pelajaran berbunyi. Tak menunggu lama, aku bergegas menuju ruang kelas yang mendapat jam pertama bersamaku, XII IPA C, kelas paling ramai kalau diajar.
Morning students! Before we start our lesson today, let’s say a prayer! Begin…” aku mengawali pelajaran. Betapa herannya aku ketika kulihat Hugo sibuk bermain kaki tanpa memedulikan aku yang sedang memimpin doa.
Enough…” aku mengakhiri doa.
Kuberjalan garang menuju meja Hugo. Brakk! Aku memukul meja, naik pitam pagi-pagi.
“Mr. Hugo Darmawan yang terhormat, seberapa hebatkah anda sehingga berdoa kepada Yang Esa saja tidak mau?” aku melotot, nadaku meninggi. Kelas menjadi hening. Hening sesaat.
“Ibu Guru yang cantik, bersediakah ibu menjadi pacarku?” Aku tersentak. Hugo ngebanyol, menyebalkan. Wajah konyol serta suara gombalnya itu menyebalkan sekali.
Seketika kelas itu menjadi riuh sekali akan tawa murid-murid yang geli melihat tingkah Hugo. Sedangkan aku, pipiku memerah. Malu. Semua siswa seakan lupa kalau aku ini guru mereka. Aku melotot. Dilema. Haruskah aku berteriak kencang dan memarahi Hugo? Atau aku harus pergi ke toilet dan membasuh hingga hilang segala rasa malu di wajahku ini? Emosi. HUGO! Ingin sekali aku menampar wajahnya! Aku merasa kacau.
Sekali lagi aku melotot, sedang Hugo menatapku dengan wajah penuh kemenangan. Dan… kami bertemu dalam satu pandangan! Mataku, matanya, bersatu. Matanya, mata hijau itu, menatap mataku. Aku merasa berbeda. Seketika emosiku menurun drastis. Seketika kelas menjadi hening. Seketika aku lupa akan kata-kata Hugo tadi. Seketika aku lupa bahwa aku adalah guru dan Hugo adalah murid. Aku merasa nyaman. Tuhan, aku tak sanggup berkata-kata. Lidahku kelu. Oh sungguh, janganlah momen ini berakhir begitu saja, kumohon jangan. Dan lagi, aku merasa nyaman.
“Maaf ya, Bu Icha. Saya tadi lagi latihan kaki, soalnya nanti malam saya mau ikut drummer contest,” suara Hugo memecah keheningan.
Kelas menjadi riuh lagi. Aku memalingkan wajah, lalu memulai mengajar tanpa memedulikan Hugo. Masih ada sedikit rasa jengkel di hatiku. Namun tatapan mata hijau itu…. Ah, sudahlah!
***
“Malem Bu Icha. Bu, aku masih bingung nih cara bikin kalimat pasif. Ajarin dong, Bu. Oh iya, ini Hugo, Bu.”
HUGO? Aku tersentak. Tanganku bergetar hebat setelah membaca SMS dari Hugo. Ada secercah senyum terukir di wajahku. Sedikit tidak percaya, namun akhirnya aku membalas SMS itu.
“Iya, kapan-kapan saya ajarin.”
SMSku terkirim, namun tak ada balasan lagi dari Hugo. Ada sedikit penyesalan muncul menggangguku. SMSku terlalu singkat, sehingga tak memungkinkan untuk Hugo membalasnya lagi. Aku sedikit kacau hingga tak sadar aku telah menggigiti HP bututku.
Aku merebahkan tubuh ke kasur. Akhirnya aku menyadari kebodohanku. Aku, Annisa Priyanka, guru SMA yang hampir berkepala tiga namun tak pernah berpikir untuk membangun sebuah rumah tangga; selalu bersikap tak biasa terhadap drummer bandel bermata hijau yang masih kelas tiga SMA itu. Bagaimana bisa? Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, mengusap-usap hidungku, dan membuka diaryku.
Dear Diary
Aku tak tahu. Sungguh aku tak tahu. Aku merasa nyaman setiap Hugo bersikap manis padaku. Dan aku merasa sakit setiap ia berlaku tak sesuai harapanku. Mengapa? Ia hanyalah muridku. Ia hanyalah drummer bandel yang tak suka diatur. Namun mengapa? Mengapa aku selalu memikirkannya? Mengapa aku seakan telah dibius hingga selalu terpesona dengannya? Mengapa aku peduli, peduli akan setiap kata yang ia ucapkan, setiap gerik, setiap langkah yang ia tempuh? Mengapa? Aku belum siap Ya Tuhan. Aku belum siap bergulat dengan rasa yang menurutku itu abstrak. Rasa yang kata orang-orang bisa membuat gila. Rasa yang bahkan aku sendiri pun enggan mengatakannya. Rasa yang kata anak-anak muda namanya “cinta”.
Aku menutup diaryku dengan sejuta kebimbangan. Bimbang akan perasaanku sendiri. Aku membuka jendela kamar. Membiarkan angin malam merasuki jiwaku, dan berharap aku bisa diterbangkannya menuju bulan. Aku menengadah ke atas. Berjuta bintang berkemilau berusaha menghibur diriku yang sedang berada dalam kegalauan maksimal. Bulan pun tersenyum. Malam yang indah.
***
Hari-hari berlalu begitu cepat. Ikatan antara aku dan Hugo semakin erat. Dan tahukah? Rasa yang menurutku abstrak itu kini kian menjadi-jadi, bergejolak di hati, hingga pikiran pun kini dikuasainya. Setiap detik takkan pernah terlalui tanpa memikirkan Hugo.
***
Pagi cepat sekali datang menyambut. Aku telah siap berangkat ke sekolah ketika kudapati HPku berdering.
“Bu Icha, nanti Ibu ada waktu luang nggak? Aku mau minta bimbingan cara bikin kalimat pasif, dulu kan aku udah pernah bilang. Bentar aja kok Bu.”
Lagi-lagi aku tersenyum setiap mendapat SMS dari Hugo.
“Jam tiga sore di perpustakaan ya..”
Aku membalas SMS, lalu bergegas mencari angkot untuk berangkat ke sekolah.
***
Bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Hatiku bersorak. Tentu sajalah karena sebentar lagi aku akan bersama-sama dengan Hugo, walaupun hanya sebatas memberikan bimbingan. Aku bergegas menuju perpustakaan. Kutengok arlojiku, tepat pukul tiga sore ketika aku sampai di perpustakaan. Sepi. Aku menyusuri rak demi rak namun tak ada seorangpun di sana. Aku berpaling ke ruang baca. Hanya ada dua meja panjang serta kursi-kursi tertata rapi. Kuputuskan untuk mengambil beberapa novel dan membaca sembari menunggu datangnya Hugo.
Waktu begitu cepat berlalu, cepat sekali. Tak terasa satu novel sudah terbaca habis olehku. Aku menoleh, hanya ada pustakawan yang sedang sibuk mendata buku, tak ada yang lain. Kutengok arlojiku, pukul lima sore! Hugo tak datang!
“Belum pulang, Bu Icha?” pustakawan itu menegurku sembari tersenyum.
“Oh iya, Pak. Ini lagi mau pulang,” aku menjawab dan membalas senyumnya.
Tak terasa butiran bening meleleh membasahi pipi keringku. Aku tak percaya, sungguh tak percaya. Hugo tak datang. Apa maunya? Membuatku kecewa? Sebal. Marah. Kecewa. Sedih. Kuusap pipiku, lalu keluar dari perpustakaan.
“Bu Icha nggak nonton Hugo?” seseorang tiba-tiba datang menghampiriku.
“Andro? Eh, emang Hugo sekarang dimana?” aku terkaget.
“Hugo kan malem ini mau ikut drummer contest. Dari sore tadi dia latihan terus, Bu. Uh aku ikut seneng deh liat dia semangat latihan, semangat Andro ikut menggebu-gebu.
“Oh, makanya tadi saya tungguin kok nggak…”
“Ayo, Bu! Kayaknya Hugo dapat urutan ke 3,” Andro memotong kalimatku.
Di dalam mobil Andro, aku hanya diam seribu bahasa. Aku bingung dengan perasaanku. Sakit hati. Ya, tentu saja sakit hati. Aku merasa dibohongi, bahkan ditipu. Tapi apa daya, aku tidak bisa marah pada Hugo. Jelas-jelas ia membohongiku dengan alasan yang sangat rasional. Berlatih mati-matian demi membanggakan SMA tercintanya. Tapi aku, tapi hatiku, perih. Aku berusaha menghandle emosiku. Sampai akhirnya aku tak sadar bahwa aku telah tiba di Gedung Mandrovia, tempat dimana Hugo bertarung melawan para drummer hebat lainnya demi keharuman nama SMA tercinta.
“Bu Icha!!!!”
Aku menoleh. Hugo? Kulihat Hugo berlari ke arahku. Mata hijaunya mengerjap-ngerjap, bening, dan penuh kebahagiaan.
“Bu, maaf ya Bu...”
“Kamu sudah siap?” aku memotong kalimat Hugo.
Hugo tersenyum manis, manis sekali. Manis senyumnya bahkan telah mengubah hatiku yang tadinya kelam kini menjadi manis.
“Sukses ya, Go!” Andro menepuk pundak Hugo tepat saat nama Hugo dipanggil untuk menampilkan aksinya di panggung.
***
Biarkan aku saja yang tahu. Biarkan kupendam semua perasaan abstrak ini sendirian. Berikan aku kekuatan Ya Tuhan. Tentang rasa ini, bantulah aku menjaganya, bantulah aku menyimpannya. Hingga sampai saat Engkau berkehendak untuk mengambilnya dari hatiku, ambillah Tuhan. Ambillah tanpa Engkau memberi berita kepada Hugo. Aku rela Ya Tuhan.
***
Tanpa kusadari Hugo telah menyelesaikan tugasnya menghibur penonton. Aku terpukau. Mata hijaunya bersinar, sinar terang seorang bintang. Hugo tersenyum lebar, lantas menghampiriku. Ia menatapku lembut. Aku merasa nyaman akan tatapan itu. Andai tatapan itu selalu mengiringi setiap langkahku. Andai Hugo adalah milikku. Andai usia kami tak berbeda jauh. Andai status guru dan murid itu dihilangkan. Andai, andai, andai... Hugo meraih tanganku, memecah lamunanku. Ia memegang lembut tanganku. Hatiku bergetar, Ya Tuhan. Lidahku kelu. Aku ingin menangis. Aku ingin memeluknya. Hugo menggandeng tanganku dan mengajakku pergi ke suatu tempat.
“Apa maksudmu, Go?” aku mengawali pembicaraan. Hugo diam saja.
“Apa maksudmu membawaku ke tempat seperti ini?” tidak ada jawaban.
“Hugo!” nadaku mulai meninggi.
Hugo menoleh, menatap mataku. Lagi-lagi Hugo membuatku terbang. Terbang yang biasanya hanya sebentar saja, namun kini aku dibuatnya terbang hingga jauh, jauh tinggi ke langit. Hugo menatapku begitu dalam. Seakan tatapan itu merasuk ke ragaku dan menyebarkan energi positif ke seluruh tubuhku. Hugo menatapku jauh lebih dalam. Aku tak kuasa. Aku ingin merangkulnya, namun aku tak bisa. Tubuhku kaku membeku. Air mataku meleleh, aku menangis, menangis di hadapan seorang drummer bandel. Aku menjatuhkan tubuhku, tersungkur, menangis begitu dalam.
“Aku mohon sekarang kamu pergi! Tinggalin aku di sini, biarin aku menangis sendiri!”
Aku sudah terlarut dalam kesedihanku ketika sepasang tangan lembut menyentuh pundakku. Hugo, Hugo meraihku dalam peluknya. Ia memelukku erat dan hangat.
“Go, apa kamu mengerti? Apa kamu paham akan semua tingkah anehku ini?” aku menengadah menatap wajahnya. Hugo tak menjawab. Ia mengusap air mataku dengan lembut.
“Go, aku ingin jujur. Aku ingin sekali status guru dan murid di antara kita dihapus saja. Aku ingin terlahir dengan usia tak jauh berbeda denganmu. Aku...” aku tersengguk. Menangis sungguh membuatku sulit berkata-kata.
“Bu Icha yang cantik, bukankah semua perbedaan ini akan menjadi indah jika disatukan?” Hugo berkata lembut, indah sekali.
“Disatukan? Maksudmu, Go?”
“Bu Icha sudah memberiku ilmu banyak. Tahukah, Bu? Aku ingin membalas semua jasa-jasa Ibu. Namun apa daya, aku tak punya apa-apa Bu. Aku hanya punya, aku hanya punya cinta,” aku terkaget. Hugo mengucapkan kata yang bahkan aku pun tak berani mengucapkannya.
“Aku akan menghapus status guru dan murid di antara kita, sesuai keinginan Ibu,” aku melongo, kata-kata Hugo semakin susah dimengerti.
“Namun tentang perbedaan usia itu, aku nggak bisa ngapa-ngapain, Bu. Masa mau protes sama Tuhan? Hehe,” Hugo meringis, lucu sekali.
Aku tersenyum lebar dengan pipi yang masih basah. Hugo memelukku sekali lagi. Lebih erat, lebih hangat, membuatku merasa nyaman, membuatku melayang.
“Go, aku masih tak mengerti maksud kata-katamu tadi,” aku mengernyitkan dahi.
Hugo tak menjawab, ia hanya tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya padaku. Aku memejamkan mata. Kini gelap, namun aku merasakan manis. Kini gelap, namun aku merasa nyaman.
Malam gelap, bulan sendirian tanpa bintang. Angin semilir membuat rumput-rumput kecil bergoyang. Sunyi. Tak ada orang lain. Hanya aku, Hugo, dan Sang Bulan yang tenang memandangi kami sedang bercumbu. Aku, merasa, nyaman.

***************

Nah sekian. Maaf ya kalau masih banyak kurangnya, baik dari segi cerita maupun tata bahasa. Aku sadar, cerpen ini masih jauh banget dari kata 'bagus' hehehe. Well, sorry then.

CONVERSATION

4 komentar:

Back
to top